Favorites Books

Avridita's favorites book montage

Twilight
The Curious Incident of the Dog in the Night-Time
Si Gila Belanja Punya Bayi (Shopaholic & Baby) - Shopaholic Series Book 5
Si Gila Belanja Akhirnya Kawin Juga (Shopaholic Ties The Knot) - Shopaholic Series Book 3
Eragon
Eldest: Yang Pertama
Brisingr
Inheritance
Harry Potter and the Prisoner of Azkaban: Harry Potter dan Tawanan Azkaban
Harry Potter and the Deathly Hallows
Harry Potter and the Goblet of Fire: Harry Potter dan Piala Api
Harry Potter and the Order of the Phoenix
Hickory Dickory Dock: A Hercule Poirot Mystery
4:50 From Paddington
Eclipse: Gerhana
New Moon: Dua Cinta
Awal Yang Baru
Box Set The Hunger Games
The Lion, The Witch and The Wardrobe: Sang Singa, Sang Penyihir, dan Lemari
The Voyage Of The Dawn Treader: Petualangan Dawn Treader


Avridita's favorite books »

Senin, 07 Januari 2013

A Form of Delicacy in a Novel

Bliss (The Bliss Bakery Trilogy #1)Bliss by Kathryn Littlewood

My rating: 5 of 5 stars


Rose Bliss thinks she is just a boring ordinary girl compared to her two brothers, Ty and Sage, and her little sister, Leigh. She can't help feeling ignored. Her parents run a bakery in a small town called Calamity Falls. Her parents always trust her to do small things to help them with the bakery, but never allow her to do something amazing, that, Rose knows, has something to do with secret recipe her parents own which is involving magic. A secret recipe that is always able to help every single problems of the citizen in Calamity Falls. When her parents are out of town to do some of their 'magic', finally Rose is trusted to do something important: keeping her family secret from others. Will Rose be able to do that? Will Rose take advantage of her family secret to get what she wants: beauty, popularity,her crush attention, and all?

This book is a great mixture of fun, magic, and delicacy. The content of this novel is as 'yummy' as its cover. I couldn't take my eyes off the book once I saw it, and when I was in the first chapter I already felt something magical. The Calamity Falls is a unique town with unique characters of each citizen. I could picture the town and each character easily since the descriptions are so helpful. The feelings of its main character is so deep, and it can make people easily relate to her. Moreover, there are fun parts of baking cookies, cake, and other yummy pastries.

Here I learn that imperfection makes us know how to love each other. On the other side, loving yourself too much maybe makes you feel perfect, but also lonely.



View all my reviews

Rabu, 02 Januari 2013

Aku adalah..

Kata 'rumah' bagiku masih buram artinya. Sejak kecil aku tahu dimana 'rumah nenek dan kakek', rumah 'papa', rumah 'mama dan ayah'. Ya, aku  selalu tahu. Lalu yang mana rumahku? Pikiran naifku semasa kecil dengan mudahnya menerima bahwa dimanapun asal bersama mereka aku bisa menyebutnya 'rumah'. Setelah dewasa aku salah besar. Aku bukan prioritas siapa-siapa. Aku tak punya rumah. Prioritas nenek dan kakekku tentu saja anak-anak mereka, dan satu sama lain. Prioritas papaku tentu dirinya dan pasangannya, dengan asumsi toh aku milik ibuku. Prioritas mama tentunya pasangannya dan anaknya. Mama dan papa pikir mereka berbagi skala prioritas mereka untuk mengurusku. Mungkin mereka memang berusaha, tapi nyatanya aku kesepian. Sampai akhirnya sepi itu menjadi diriku. Aku adalah sepi. Lama-lama aku berkawan sepi. Dan aku menyukainya lebih dari seharusnya.

Aku adalah sepi.

Kasih sayang. Apa itu kasih sayang? Saat dewasa baru aku menyadari bahwa istilah 'unconditional love' itu benar-benar ada dalam hidup ini. Aku yang masih kecil hanya mengerti cinta kasih yang mengharap balasan. "Kamu mesti baik, baru aku sayang sama kamu", seperti itulah. Tahu nggak? Aku benar-benar berusaha untuk bisa disayang. Aku tak pernah macam-macam selama ini. Ibarat anak kecil yang sedang mewarnai yang tidak berani melewati batas garis. Aku sehati-hati itu. Nilai-nilai akademisku selalu diatas rata-rata. Aku kira keberhasilanku di bidang akademis akan membuat mereka melihatku. Memperhatikanku. Salah besar. Semua itu mereka anggap bahwa aku bisa dipercaya mengurus diriku sendiri. Dari semua orang sekitarku, keluarga adalah pihak terakhir yang aku mintai bantuan saat aku kesulitan. Wajarkah itu? Tuhan, andai mereka tahu aku sangat butuh pernyataan gamblang kasih sayang mereka padaku. Dan aku pun menjadi dingin. Aku tak terbiasa mengungkapkan perasaanku tentang apapun langsung pada sesorang, ataupun menerima wujud perasaan secara gamblang dari seseorang. Aku kaku. Aku kaku kedinginan. Aku memeluk udara dingin itu, merasuk ke dalam ragaku.

Aku adalah dingin.

Aku tidak sempurna. Saat aku beranjak dewasa aku mengerti bahwa kesempurnaan adalah topeng belaka. Aku tidak mau memakai topeng sekalipun topeng itu menyerupai wajah bidadari. Aku ingin wajahku, aku ingin mereka mencintaiku. Saat daya tahanku menipis, dan lubang-lubang di topeng itu mulai tampak, tak semua orang di sekitarku ingin terus menonton pertunjukkan yang aku sajikan. Tak mengapa. Mereka boleh cari topeng lain. Tapi sampai kapan? Adakah yang melihat di balik retakan topeng itu mengucur air mata? Topeng itu selalu damai, tak pernah berair mata.. karena mereka tak pernah mau melihat apa yang ada di baliknya. Topeng tidak kenal air mata. Bagiku air mata adalah sarana komunikasi paling murni, paling mudah, paling komunikatif daripada bahasa. Saat aku marah, aku sedih, ataupun bahagia aku pasti menangis. Aku meleleh bersama tetesan air mataku. Aku meleleh menjadi tiada. Tertelan banjir air mata.

Aku adalah tangis.