Tempatku mengajar suasananya tidak berubah. Hanya saja hari itu
suasana hatiku yang sedang berubah. Semua itu karena flu yang
menyerangku sejak seminggu yang lalu, dan aku terlambat pergi ke dokter.
Aku baru pergi memeriksakan flu akut ini sehari yang lalu. Saat aku
merasa sudah sangat tersiksa dengan hidung meler, tenggorokan yang sakit
setiap menelan makanan, dan sariawan yang memperparah semuanya. Hari
itu aku dorong diriku untuk mengajar. Tersenyum seperti
biasa, menggunakan nada bicara yang biasa aku gunakan saat aku bersama
anak-anak, dan intinya mengajar seperti biasa.
Saat itu aku baru saja selesai mengajar anak-anak kinder, murid-muridku yang paling muda. Aku terduduk di depan meja registrasi sambil sedikit-sedikit mengobrol dengan Miss Eva. Aku melihat Fauzan, seorang murid baru yang baru saja keluar dari kelasku belum pulang. Ia masih bersama ibunya di dekat perosotan sambil menyantap roti bakar. Saat pandanganku mulai buram dan tidak fokus itulah aku melihat ia menghampiriku, lalu memberikan potongan roti bakarnya padaku. Aku kaget, dan otomatis mengarahkan pandanganku pada ibunya. Ternyata ibunya juga kaget.
“Oh, buat Miss-nya toh rotinya. Dikirain buat apa dipotong,” ibunya berkata sambil tersenyum.
Reaksi spontanku memang tidak terlalu bagus. Jadi aku hanya bengong disana memandang wajah polos dengan mata besar, dan tangan mungilnya menyodorkan sepotong roti bakar padaku. Ia ingin berbagi denganku. Aku takjub. Aku terdiam beberapa detik menikmati adegan ini. Sampai akhirnya aku menerima pemberiannya.
“Aduh, thank you, Fauzan”, itulah reaksiku yang aku nilai cukup buruk di situasi yang menakjubkan ini.
Fauzan adalah murid baru, dan ia sangat pendiam. Maka tindakan ini aku rasa sebagai tanda kalau ia menerimaku sebagai gurunya. Tahu tidak salah satu dari sekian banyak hal menakjubkan saat kau bersama anak kecil (apalagi sebagai murid)? Mereka menjadikan tindakan kecil berarti begitu besar. Itu semua karena ketulusan. Saat kau tulus, sekecil apapun kebaikan yang kau lakukan, maka akan berarti besar. Aku belajar dari muridku. Aku selama ini banyak belajar dari mereka.
Fauzan nampaknya juga cukup pintar untuk mengetahui.. kalau sepotong roti mudah ditelan oleh gurunya yang sedang sakit dan sulit menelan makanan.
Saat itu aku baru saja selesai mengajar anak-anak kinder, murid-muridku yang paling muda. Aku terduduk di depan meja registrasi sambil sedikit-sedikit mengobrol dengan Miss Eva. Aku melihat Fauzan, seorang murid baru yang baru saja keluar dari kelasku belum pulang. Ia masih bersama ibunya di dekat perosotan sambil menyantap roti bakar. Saat pandanganku mulai buram dan tidak fokus itulah aku melihat ia menghampiriku, lalu memberikan potongan roti bakarnya padaku. Aku kaget, dan otomatis mengarahkan pandanganku pada ibunya. Ternyata ibunya juga kaget.
“Oh, buat Miss-nya toh rotinya. Dikirain buat apa dipotong,” ibunya berkata sambil tersenyum.
Reaksi spontanku memang tidak terlalu bagus. Jadi aku hanya bengong disana memandang wajah polos dengan mata besar, dan tangan mungilnya menyodorkan sepotong roti bakar padaku. Ia ingin berbagi denganku. Aku takjub. Aku terdiam beberapa detik menikmati adegan ini. Sampai akhirnya aku menerima pemberiannya.
“Aduh, thank you, Fauzan”, itulah reaksiku yang aku nilai cukup buruk di situasi yang menakjubkan ini.
Fauzan adalah murid baru, dan ia sangat pendiam. Maka tindakan ini aku rasa sebagai tanda kalau ia menerimaku sebagai gurunya. Tahu tidak salah satu dari sekian banyak hal menakjubkan saat kau bersama anak kecil (apalagi sebagai murid)? Mereka menjadikan tindakan kecil berarti begitu besar. Itu semua karena ketulusan. Saat kau tulus, sekecil apapun kebaikan yang kau lakukan, maka akan berarti besar. Aku belajar dari muridku. Aku selama ini banyak belajar dari mereka.
Fauzan nampaknya juga cukup pintar untuk mengetahui.. kalau sepotong roti mudah ditelan oleh gurunya yang sedang sakit dan sulit menelan makanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar