Sometimes, the last person you want to be with is the person you can’t be without. -Pride and Prejudice
Aku menulis ini saat kamu sedang tak ada disisiku, bahkan di dunia maya maupun media komunikasi lainnya. Kenapa? Karena aku tahu kalau kamu ada di sisiku waktuku akan terkonsumsi dengan menikmati kehadiranmu. Saat ini aku sedang malas hanya sekadar bicara denganmu. Aku inginnya bertemu. Segala sesuatu di sekelilingku rasanya sedang buruk. Dan ketidakhadiranmu membuat segalanya lebih buruk. Singkatnya, tanpamu suasana hatiku relatif buruk. Akan aku buktikan kepadamu dengan tulisan ini. Aku akan mengingat hidupku saat kita berdua sama-sama dalam penyangkalan.
Hari itu sekitar beberapa bulan yang lalu aku sedang kesal padamu. Lagi-lagi aku terjepit diantara kalian berdua. Tebakanku kau akan lari lagi. Meninggalkanku. Dan aku harus mengobati segalanya sendiri. Tanpa dirimu, penyembuhku berada di sisiku. Masalah ini bukan yang pertama kali, maka air mataku enggan keluar. Nampaknya ia tak mau dipaksa keluar untuk alasan yang sama. Sejarah sepertinya akan berulang, namun aku tidak mau lagi. Maka padanya aku jujur bahwa aku menyimpan rasa padamu, namun itu tidak penting. Biarkan perasaan ini tetap tak memiliki rumah dan aku bawa pergi (lagi) ke jalanan. Perasaan ini seperti rumput liar yang ingin aku pangkas, tapi tak bisa. Karena rumput liar inilah yang membuat perjalananku indah meski melewati jalan berbatu.
Tiba-tiba kamu bilang ingin bicara,maka aku cukupkan dunia maya sebagai penyambung lidah kita. Akhirnya aku bisa meraba perasaanmu, dan kamu bisa melihat hatiku. Aku tahu itu tidak ada gunanya, kondisi kita berdua tidak akan berubah. Semua ini aku lakukan agar aku bisa dengan lega melepas perasaanku padamu. Membiarkannya mengembara entah kemana. Kita berdua dengan berat hati memaksakan kata 'selamat tinggal'. Namun anehnya senyuman di bibirku tak mau hilang lama setelah percakapan itu berakhir. Karena akhirnya aku tahu kau merasakan hal yang sama, dan mengetahui itu aku merasa cukup dan bisa meneruskan hidup. Malam itu aku menemukan cinta, dan mengakhirinya malam itu juga. Dengan senyum tetap menghiasi bibir, aku mengatakan padamu: Hello love, good bye..
Namun ternyata keesokan harinya udara pagi terasa berat di paru-paruku. Sadarlah aku telah kehilangan. Aku terus menerus mengingat bahwa 'Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau
mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.' Begitulah yang aku dapat dari perjalanan kisah inspiratif perjalanan cinta antara Fatimah dan Ali. Namun nyatanya mereka berakhir bersama, kita berdua tidak. Untuk meringankan beban hatiku, aku bercerita tentangmu kepada teman-temanku. Tak jarang mereka menimpali dengan memberiku harapan bahwa suatu saat kita berdua akan menjadi satu. Aku hanya membayar upaya mereka dengan senyum getir dan berkata: tidak. Tidak akan aku izinkan harapan itu tumbuh di hatiku, karena itu berarti aku mendoakan yang tidak baik untukmu. Sedangkan aku ingin kamu bahagia. Dengan atau tanpaku. Klise memang, tapi mau diapakan lagi?
Selama itu aku menjalani hidup dengan kabur. Aku lari dari diri sendiri. Rasanya seperti itu. Ingin rasanya benar-benar lari lalu menghilang, tapi bagaimana bisa? Jika setiap mendengar lagu senang maupun sedih selalu kamu yang terlintas. Bahkan saat aku membeli telur ke supermarket pun, aku bisa merasakan kehadiranmu disana. Saat itulah kenangan antara kita berdua menyesakkan dada. Kamu telah mempengaruhi setiap aspek terkecil kehidupanku. Yang lebih mengerikan adalah aku tidak menangis. Aku tidak bisa menangis. Entah kenapa. Dan itu menyiksaku lebih dari apapun. Aku ingin melepasmu, dan segala perasaanku padamu, tapi bahkan air mataku untukmu pun tidak mau melepaskan diri dariku.
Aku bertahan hidup dengan memutar kenanganku tentangmu di pikiranku. Rasanya seperti memiliki pemutar video di kepalaku. Dan aku cukup sering memutarnya. Mungkin setiap hari. Ternyata aku salah. Jika ini perjudian, maka aku kalah telak. Aku kira dengan mengetahui perasaanmu padaku aku dengan mudahnya akan melepasmu. Salah besar. Aku makin terhanyut dalam duniaku sendiri bersamamu.
Aku
kira kupu-kupu itu sudah mati dan tidak selamat,
Ternyata dia masih ada disini walau sekarat,
Hingga kini ia masih kurawat,
Untuk aku lepaskan saat ia sudah sehat,
Dan berkelana dengan sayap yang lebih kuat. (30 Juni 2011)
Aku kerap kali memimpikanmu, kamu bisa hadir tanpa halangan siapapun di kerajaan magisku yang kuberi nama 'tidur'. Aku tak mau melupakan. Bahkan aku tidak mau lupa. Aku berpegang erat pada kenangan tentangmu. Karena kehilangan hal itu akan menyebabkanku kehilanganmu untuk yang...kesekian kali. Aku absurd bukan? Pikirku, saat aku sudah menemukan jodohku dan menikah, aku dengan mudah akan sembuh dengan sendirinya. Maka aku mengumbar ingin menikah cepat-cepat. Toh saat kesempatan itu datang, aku kalang kabut. Aku seakan dikejar-kejar kata-kataku sendiri. Dan saat itulah aku berkenalan dengan istilah 'stuck'. Payah sekali aku ini. Walau mungkin benar apa kata orang, bahwa jika aku memilih kamu, kamu bisa meninggalkan aku sama seperti yang telah kamu lakukan. Tapi toh menghadapimu akal sehatku saja tak mempan, apalagi akal sehat orang lain.
Lalu malam itu kamu muncul di hadapanku secara tak terduga. Setelah hampir dua bulan aku menjalani hidup entah sebagai siapa. Dengan panik aku mencari dimana letak lukamu, karena biasanya kamu muncul di hadapanku dengan luka hati lalu kita akan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun kamu bilang, tak ada sesuatu yang perlu aku kuatirkan. Semua akan baik-baik saja. Ya, kecuali perawakanmu yang tambah kurus itu, pikirku. Saat itu walau kita dipertemukan kembali, aku sudah siap akan perpisahan. Sepertinya semenjak kita bertemu, kita sudah terbiasa harus mengucapkan selamat tinggal satu sama lain. Maka aku mengaggap hari itu sebagai dongeng yang selalu aku impikan, dan akan berakhir saat lonceng jam berdentang.
Aku : Uhmm.. how are you?
Kamu : Singkatnya? Selama sebulan ini saya udah kayak orang gila.
Dan akhirnya kebenaran terungkap. Dan akhirnya setelah dua tahun aku memendam tanpa berharap, sekarang kamu benar-benar ada di sisiku. Aku biasanya tidak mau banyak berharap, tapi menghadapimu akal sehatku ini seakan tiarap.