Aku baru saja membaca novel berjudul 'Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin' karya Tere Liye. Judulnya lah yang mendorong hatiku untuk membeli novel ini. Aku merasa harus menguak sesuatu yang tersembunyi di balik judul tersebut. Ternyata benar, aku menemukan beberapa potongan perasaanku terselip dalam kata-kata sang penulis. Tentang kita dulu. Dan aku mengutipnya.
“Bahwa hidup harus menerima…penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti…pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami…pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.”
“Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah kemana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami…dan kami akan menerima.”
“Dia tidak mencintaiku. Itulah kesimpulan yang kupaksakan. Kesimpulan yang membuat luntur wajah menyenangkanku. Kesimpulan yang mengubah perangaiku. Mengubah semuanya. Tetapi malam ini justru aku mengatakan kalimat itu. Dengan sebuah pertanyaan iya dan tidak. Aku tak mengerti secepat ini pembicaraan menuju jantung permasalahan. Aku tak mengerti. Perasaaanku sudah tak tahan lagi. Pertanyaan itu meluncur saja tanpa bisa kucegah.”
“Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta. Aku juga dulu seperti itu…sibuk menduga-duga. Aku tak pernah tahu bahwa simpul itu nyata. Itu bukan dusta hatiku. Tapi mengapa kau tak pernah mengatakannya? Mengapa?”
“Kau membunuh setiap pucuk perasaan itu. Tumbuh satu langsung kaupangkas. Bersemai satu langsung kauinjak. Menyeruak satu langsung kau cabut tanpa ampun. Kau tak pernah memberikan kesempatan. Karena itu tak mungkin bagimu?”
“Dan tunas-tunas perasaanmu tak bisa kaupangkas lagi. Semakin kautikam, dia tumbuh dua kali lipatnya. Semakin kauinjak, helai daun barunya semakin banyak.”
Pasrah. Menerima setiap kejadian dalam kehidupan dengan lapang dada. Itulah yang harus aku lakukan. Setelah itu barulah aku bisa memperbaiki hidup, memaafkan diri sendiri dan juga orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar